Total Pengunjung Mulai Oktober 2015

Powered by Blogger.

Pages

Followers

Entri Populer

Template Information

Monday, October 30, 2017

IMAN & UJIAN DALAM TAFSIR PARA ULAMA

by KANG WAS  |  in ARTIKEL at  12:38 AM



Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? QS. Ankabut :29:2.

Pendahuluan
1.     Iman
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Iman (bahasa Arab: الإيمان) secara etimologis berarti 'percaya'.
Etimologi
Perkataan iman (إيمان) diambil dari kata kerja 'aamana' (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-Ghazali menguraikan makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."
Tingkatan iman
Dalam Islam dikenal beberapa tingkatan seseorang dalam keyakinan beragama, diantaranya adalah:
·       Muslim: orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk yang terendah, sebatas pengakuan Allah sebagai tuhan yang esa, belum ada bedanya dengan iblis yang juga meyakini bahwa Allah adalah maha esa,
·       Mu'min: orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga meningkat wawasan keislamannya,
·       Muhsin: orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar menjadi lebih baik,
·       Mukhlis: orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya untuk mengabdikan kepada Allah,
·       Muttaqin: orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang tertinggi di antara tingkatan lainnya.


2.     Ujian
Sikap manusia ketika menghadapi cobaan, marah, sabar, ridha dan syukur.

Asbabun Nuzul ayat ankabut ayat 2

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari asy-Syu’bi bahwa orang-orang yang berada di kota Mekah yang telah masuk Islam, mendapat surat dari sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang berada di Madinah. (Isi surat tersebut menyatakan) bahwa keislaman mereka tidak akan diterima kecuali jika mereka berhijrah. Maka berhijrahlah mereka ke Madinah. Akan tetapi mereka dapat disusul oleh kaum musyrikin, sehingga digiring kembali ke Mekah. Setelah turun ayat ini (al-‘Ankabuut: 1-2) orang-orang yang berada di Madinah mengirim surat kembali kepada mereka, yang menegaskan bahwa Allah telah menurunkan ayat berkenaan dengan keadaan mereka. Dalam ayat itu dikemukakan bahwa hijrah dengan segala penghalangnya adalah ujian terhadap keimanan mereka. Merekapun berangkat kembali berhijrah dan bertekad untuk memerangi orang-orang yang menghambatnya. Pada waktu itu kaum musyrikin mengikuti kaum Muslimin yang berhijrah itu, dan karenanya merekapun memerangi kaum musyrikin itu. Sebagian dari kaum Muslimin ada yang terbunuh dan sebagian lagi dapat menyelamatkan diri. Maka turunlah surah an-Nahl ayat 110.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah bahwa ayat ini (al-Ankabut: 1-2) turun berkenaan dengan orang-orang Mekah yang berhijrah ke Madinah menyusul Nabi saw., tetapi dicegat dan digiring kembali oleh kaum musyrikin ke Mekah. Kaum Muslimin yang ada di Madinah mengirim surat yang isinya memberitahukan kepada mereka perihal ayat yang disebutkan di atas. Setelah menerima surat tersebut, merekapun berangkat kembali berhijrah, sehingga di antara mereka ada yang gugur dan ada yang selamat (dari sergapan kaum musyrikin). Maka turunlah ayat selanjutnya (al-Ankabuut: 69) sebagai jaminan bahwa Allah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berjihad demi mencari keridhaan-Nya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair bahwa ayat ini (al-Ankabuut: 2) turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir yang disiksa (oleh kaum musyrikin) karena mengikuti agama Allah.
Tafsirnya
Jalalen
(Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan) mengenai ucapan mereka yang mengatakan, ("Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?) diuji lebih dulu dengan hal-hal yang akan menampakkan hakikat keimanan mereka. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian mereka disiksa oleh orang-orang musyrik.

Qurai shihab
pakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja karena mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa diuji dengan hal-hal yang dapat membuktikan hakikat keimanan mereka, yaitu dalam bentuk cobaan-cobaan dan tugas-tugas keagamaan? Tidak, bahkan mereka harus diuji dengan hal-hal seperti itu.

Ibnu Katsir qs. ankabu 1-4

{الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3) أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَنْ يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (4) }
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.
Mengenai pembahasan huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada permulaan surat-surat Al-Qur'an telah dibicarakan dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah.
Firman Allah Swt.:
{أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ}
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? (Al-'Ankabut: 2)
Istifham atau kata tanya menunjukkan makna sanggahan. Makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Swt. pasti akan menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kadar iman masing-masing, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis sahih yang mengatakan:
"أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلَابَةٌ زِيدَ فِي الْبَلَاءِ"
Manusia yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang saleh, lalu orang yang terkemuka. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya; jika agamanya kuat, maka ujiannya diperberat pula.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ}
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 142)
Hal yang sama disebutkan di dalam surat At-Taubah, dan di dalam surat Al-Baqarah disebutkan oleh firman-Nya:
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ}
 Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah: 214)
Karena itulah dalam surat Al-'Ankabut ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ}
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 3)
Yaitu orang-orang yang benar dalam pengakuan imannya, juga orang-orang yang dusta dalam pengakuan imannya. Allah Swt. mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu, mengetahui apa yang akan terjadi, mengetahui pula apa yang tidak akan terjadi dan apakah akibatnya seandainya hal itu terjadi. Hai ini merupakan sesuatu yang telah disepakati di kalangan semua imam ahli sunnah wal jamaah.
Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya sehubungan dengan hal yang semisal dengan makna firman-Nya:
{إِلا لِنَعْلَمَ}
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata). (Al-Baqarah: 143)
Maksudnya, melainkan agar Kami melihat. Dikatakan demikian karena penglihatan berkaitan dengan hal yang ada (terjadi), sedangkan pengertian mengetahui mempunyai pengertian yang lebih luas daripada melihat, sebab mencakup hal yang ada dan juga hal yang tidak ada.
Firman Allah Swt.:
{أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَنْ يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ}
Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (Al-'Ankabut: 4)
Yakni jangan sekali-kali orang-orang yang belum beriman mengira bahwa mereka luput dari cobaan dan ujian ini, karena sesungguhnya di belakang mereka terdapat siksaan dan pembalasan yang jauh lebih berat dan lebih pedih daripada apa yang mereka alami di dunia. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami. (Al-'Ankabut: 4) Maksudnya, selamat dari siksa Kami.
{سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ}
Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (Al-'Ankabut: 4)
Yakni amatlah buruk dugaan mereka itu.


Amalan praktis dalam keseharaian ankabut ayat 2
Hikmah-Nya tidak menghendaki bahwa setiap orang yang mengaku mukmin tetap dalam keadaan aman dari fitnah dan ujian serta tidak datang kepada mereka sesuatu yang menggoyang iman mereka. Yang demikian maka tidak dapat dibedakan antara orang yang benar-benar beriman dengan yang tidak (yakni berdusta) dan tidak dapat dibedakan antara orang yang benar dengan orang yang salah.

Terbukti Iman atau Dusta
Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman: walaqad fatannâ al-ladzîna min qablihim (dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka). Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan kepada kalian, namun juga umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, ujian keimanan merupakan sunnatul-Lâh yang berlaku di setiap masa.

Referensi 
1. Tafsir Jalalen
2. Tafsir Ibnu Katsir ebook
3. Tafsir al-baru 
4. Wikipedia bahasa Indonesia
5. Asbabun Nuzul

0 comments:

Proudly Powered by Blogger.