Oleh: Syamsul
Hidayat
Pendahuluan
Salah satu aspek
yang sangat penting bagi Muballigh
Muhammadiyah dalam mempersiapkan materi dakwah dan tablighnya adalah
bagaimana mengambil sumber-sumber dan rujukan materi dakwahnya. Ketidak siapan
seorang Mubaligh akan materi dakwahnya akan berakibat fatal, bisa jadi materi
dakwahnya menjadi tidak berbobot, atau bahkan kehabisan bahan ditengah dakwah
dan tabligh.
Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid, yang berintikan kepada al-ruju’ ila al-Quran wa
al-Sunnah dan membersihkan diri dari praktek taqlid, takhayul, bid’ah dan
khurafat, dan daki-daki penyimpangan pemahaman Islam, seperti sekularisasi,
liberalisasi, dan paham pluralisme agama, menuntut para muballigh dan dainya
untuk serius dalam mempersiapkan materi dakwah dan tabligh, yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pemahaman keagamaan dalam Muhammadiyah.
Oleh karena itu
dalam tulisan ini, akan dipaparkan hal-hal berikut: (1) dasar-dasar metodologis
“paham agama” dalam Muhammadiyah, (2) langkah pengambilan rujukan dakwah, (3)
beberapa piranti pembantu dalam menggali rujukan dakwah.
A. Dasar-dasar Metodologis Paham Agama dalam
Muhammadiyah
Sebagai
Jam’iyah Diniyah, Muhammadiyah menempat-kan agama Islam dalam posisi dan fungsi
sentral bagi lahir dan perkembangannya dalam hidup perjuangannya.
Adanya
Muhammadiyah yang kemudian menjadi per-syarikatan yang beridentitas sebagai gerakan
Islam, gerakan Dakwah Islam, dan amar makruf nahi munkar, dan gerakan
tajdid adalah merupakan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam memahami
agama Islam dan kemudian menghayati dan mengamalkannya.
Oleh karena
itu, Islam bagi Muhammadiyah merupakan “sumber” inspirasi dan aspirasi, pusat
orientasi, motivator, pengarah dan pedoman bagi hidup, kehidupan dan
perjuangannya.[1]
Dasar-dasar
metodologi dan pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah, dapat dilihat pada
rumusan-rumusan putusan persyarikatan, seperti: Kitab Masalah Lima (al-masail
al-khams), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqadimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah, yang semuanya itu merupakan pokok-pokok pemikiran ideologis
gerakan Muhammadiyah.
1.
Pengertian Agama
Prinsip
pertama dalam mengenali paham agama dalam Muhammadiyah, mengenal rumusan
Muhammadiyah tentang pengertiah agama, yakni agama Islam. Adapun pengertian
agama Islam dalam Muhammadiyah, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Masail
al-Khams (Masalah Lima), dibagi menjadi dua: pengertian agama Islam secara
luas dan pengertian secara sempit (khusus).
Pengertian agama Islam dalam arti luas, ialah :
الدين هو ما شرعه الله من لسان أنبيائه من الأوامر والنواهى
لصلاح العباد دنياهم وأخراهم
"Agama ialah apa yang disyariatkan Allah dalam perantaraan
nabi-nabiNya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akherat."[2]
Sedangkan pengertian agama Islam dalam arti sempit
(khusus) ialah :
الدين أى الدين الاسلامى الذى جاء به محمد صلى الله عليه وسلم
هو ما أنزله الله فى القران وما جاءت به السنة الصحيحة (أى السنة المقبولة) من
الأوامر والنواهى لصلاح العباد دنياهم وأخراهم
Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad ialah apa-apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur-an dan yang
tersebut dalam sunnah ÎaÍiÍah, berupa
perintah-perintah, larangan-larangan dan pe-tunjuk-petunjuk bagi kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akherat.[3]
Dengan
pengertian seperti ini, Muhammadiyah telah mengadakah koreksi terhadap
pengertian agama Islam yang dipahami umum, agama Islam ialah agama yang dibawa
oleh Muhammad Saw. sedangkan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah yang lain
dianggap bukan Islam, sehingga menamakan masa sebelum Muhammad sebagai “masa
pra Islam”.
Agama Islam
menurut pendirian Muhammadiyah adalah agama Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya sejak Adam A.s. hingga Muhammad Saw. Sedangkan Al Islam yang harus dipegangi
sebagai aqidah dan syariah amaliyah oleh umat Islam pasca Muhammad ialah Islam
yang telah disempurnakan oleh risalah Muhammad sebagai penutup para nabi dengan
dua pedoman pokok, yaitu Al Qur-an dan Sunnah shahihah.
2. Prinsip-prinsip Pemahaman Agama
a. Dasar Agama Islam: Hubungan Akal dan Wahyu
Dalam naskah (matan) Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, ditegaskan bahwa dasar agama Islam ialah Al Quran, yakni
kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan As Sunnah,
yakni penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al Quran yang diberikan oleh Nabi
Muhammad Saw. dengan menggunakan akal pikiran sesu-ai dengan jiwa ajaran Islam.[4]
Al Qur-an dan As Sunnah — sebagai penjela-sannya, adalah
pokok dasar ajaran Islam yang me-ngandung ajaran yang benar dengan kebenaran
yang mutlak dan universal. Tidak akan berubah-ubah sepanjang masa. Sedangkan
ajaran Islam yang di rumuskan oleh manusia (ulama) sebagai hasil pemi-kirannya
dalam memahami Al Qur-an dan Sunnah bukanlah ajaran Islam yang sebenarnya
secara ha-kiki, sehingga tidak memiliki kebenaran yang mutlak dan universal,
melainkan nisbi.[5]
Sementara itu, akal pikiran/ra’yu adalah alat untuk :
1). Mengungkapkan dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al
Qur-an dan Sunnah Rasul.
2). Mengetahui
maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al Qur-an dan Sunnah Rasul.
Sedangkan
untuk mencari cara dan jalan melaksanakan ajaran Al Qur-an dan Sunnah Rasul
dalam mengatur dunia dan memakmurkannya akal pikiran yang dinamis -progressif,
murni dan jernih, mempunyai peranan penting dan lapangan yang luas. Akal
pikiran dapat melihat raang dan waktu bagi penerapan ketentuan ajaran Islam
dalam batas maksud-maksud pokok ajaran agama.[6]
Dengan
demikian, Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka.
Bahkan beragama Islam, menurut pendirian Muhammadiyah, harus berdasarkan
pengertian yang benar, dengan menggunakan ijtihad atau setidak-tidaknya
it-tiba.[7]
Dalam
menetapkan ketentuan yang berkenaan de-ngan agama sebagai tuntunan, baik bagi
perorangan maupun kehidupan persyarikatan, dilakukan dengan ijtihad jama’iy,
bukan ijtihad fardy, yaitu musyawarah yang dilakukan
oleh ahlinya (ulama) dengan menggunakan metode “tarjih”, yaitu membandingkan
pendapat-pendapat dari hasil ijtihad yang berbeda-beda dilihat dari dalil dan
alasannya yang dinilai paling rajih (kuat).[8]
b. Aspek-aspek
Ajaran Islam
Dengan
dasar dan cara memahami agama seperti di atas, Muhammadiyah berpendirian bahwa
ajaran Islam merupakan “kesatuan ajaran” yang utuh tidak dapat
dipisah-pisahkan, dan meliputi :
1). Aqidah
: ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan. Di bidang ini, Muhammadiyah
berupaya untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusryikan, bid’ah dan khurafat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi
menurut ajaran Islam.
2). Akhlak : ajaran yang berhubungan pembentukan sikap mental. Di bidang ini,
Muhammadiyah bekerja untuk te-gaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan
berpe-doman kepada Al Qur-an dan Sunnah Rasul, bukan bersendikan kepada
nilai-nilai ciptaan manusia.
3). Ibadah (Mahdhah): ajaran yang berhubungan de-ngan peraturan
dan tata cara hubungan manusia dengan Tuhan. Dibidang ini, Muhammadiyah berusaha
untuk tegaknya ibadah sesuai yang dituntunkan oleh Rasulullah tanpa tambahan
dan perubahan dari manusia.
4). Mu’amalah
Dunyawiyah (Ibadah am): ajaran yang berhubungan dengan pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat. Muhammadiyah berupaya untuk terlaksananya muamalah
duniawiyah dengan berdasrkan ajaran agama Islam serta menjadikan semua kegiatan
dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah Swt. dan ihsan kepada sesama.[9]
c. Fungsi Ulama dalam Pemikiran Muhammadiyah
Untuk
memberikan tuntunan dalam bidang agama, Muhammadiyah menugaskan kepada Majelis
Tarjih (yang kini bernama Majelis Tarjih dan Tajdid), yaitu sebuah lembaga yang
terkumpul di dalamnya para ulama Muhammadiyah, untuk selalu memperdalam
penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
Di lingkungan Muhammadiyah, ulama memperoleh tempat yang terhormat
sebagai tempat kembalinya umat untuk memperoleh bimbingan hidup beragama. Namun
demikian, ulama tidak merupakan kelompok elite dan otoriter. Ulama adalah
bagian dari dan menjadi satu dengan umat. Ulama tidak hanya menanti
kedatangan umat, tetapi juga mendatangi umat.[10]
Keberadaan ulama yang terjun dan menyatu dengan umat,
dalam pandangan Muhammadiyah adalah memenuhi perintah al-Quran surat al-Taubah:
122:
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. Al-Taubah:
122)
Berdasarkan ayat di atas, KH. Ahmad Azhar Basyir rahimahullah
ta'ala rahmatan wasi'ah, menegaskan bahwa konsep ulama dalam Muhammadiyah
adalah orang yang ber-tafaqquh fi al-din, mampu menggali ajaran Islam
dari sumbernya Al-Quran dan Sunnah Rasul, mengamalkan ilmunya, sehingga
berkesanggupan untuk berperan sebagai pembimbing umat untuk menjalani kehidupan
sepanjang kemauan ajaran Islam.[11]
Sejalan dengan pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir di atas,
KH. Syahlan Rosyidi rahimahullah ta'ala, menyatakan bahwa konsep Ulama
dalam Muhammadiyah adalah sebagaimana penuturan KH. Ahmad Dahlan, "Dadiyo
Kyai sing Kemajuan", sehingga dapat dipahami bahwa Ulama dalam
Muhammadiyah adalah:
1). Tidak merupakan hirarki kasta robaniyah
2). Ulama tidak hanya berorientasi kepada fiqhiyah semata-mata
3). Konsepsinya ialah ulama yang bersikap dinamis, senantiasa mampu
memanifestasikan risalah Islami pada zaman yang penuh kemajuan.[12]
Ringkasnya, ulama adalah merupakan "Rijaluddin", yaitu
bukan sekedar ulama yang menguasai kitab kuning saja, tetapi mampu menggali dan
menjabarkan "Risalah Islamiyah" dalam menghadapi dan menjawab
tantangan jaman.
Kedudukan ulama dalam Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan
Tajdid, adalah memiliki kedudukan yang penting sebagai pembimbing dan pemersatu
umat dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam. Hal ini disebabkan
oleh kesadaran bahwa masalah khilafiyah (perbedaan pemahaman dan pengamalan
agama) telah menimbulkan perselisihan dan pertikaian yang melelahkan.
Dalam Qaidah Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa lapangan dan
tugas Tarjih pada hakekatnya luas sekali, meliputi merumuskan tuntunan yang
diperlukan oleh keluarga Muhammadiyah, kegiatan riset terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara pesat, terutama yang
berkaitan dengan masalah-maslah keagamaan untuk mendapatkan jawaban yang tepat.[13]
d. Pokok-pokok Manhaj Tarjih
Untuk keperluan di atas, Majlis Tarjih telah merumuskan dan
menetapkan pokok-pokok manhaj dalam mengambil keputusan. Pokok-pokok Manhaj
tersebut selanjutnya menjadi pijakan metdologis dan etis bagi ulama
Muhammadiyah dalam mengembangan pemahaman, pemikiran dan pengamalan Dinul
Islam. Azhar Basyir menjelaskan secara ringkas pokok-pokok Manhaj tersebut
adalah sebagai berikut:
1). Dalam beristidlal,
dasar utamanya adalah Al-Quran dan al-Sunnah al-ØaÍÊÍah (al-MaqbËlah). Ijtihad dan istinbat atas dasar 'illah terhadap
hal-hal yang tidai terdapat di dalam nas, dapat dilakukan, sepanjang tidak
menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang hal yang dihajatkan dalam
memenuhi kebutuhan manusia. Ijtihad, termasuk qiyas dapat digunakan sebagai
cara menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya secara langsung.
2). Ijtihad dilaksanakan
secara jama'I, dengan jalan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan diatas
kebenaran. Pendapat pribadi tidak dipandang kuat.
3). Tidak terikat dan
mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi aqwal al-madzahib dapat menjadi
pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran
Al-Quran dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
4). Berprinsip
terbuka, toleran dan tidak memandang pendapat Majelis Tajih yang paling benar.
Menerima koreksi dari siapa pun, selama diberikan dalil-dalil yang kuat.
Majelis dimungkinkan untuk mengubah pendapat yang pernah diputuskan.
5). Dalam
masalah aqidah, hanya menggunakan dalil-dalil yang mutawatir.
6). Tidak
menolak ijma' sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
7). Tentang
dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arudl, digunakan cara: al-jam'u wa
al-tawfiq, dan kalau tidak dapat dilakukan tarjih.
8). Menggunakan
asas "sadd al-dzara'I", untuk menghindari terjadinya fitnah dan
mafsadah.
9). Menta'lil
dapat dilakukan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Quran dan al-Sunnah,
sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah "al-Íukmu yadËru ma‘a al-‘illati wujËdan wa ‘adaman" dalam hal tertentu
dapat berlaku.
10). Penggunaan
dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif,
utuh dan bulat, tidak terpisah.
11). Dalam
mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip "al-taysir".
12). Dalam
bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-Quran dan
As-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar
belakang dan tujuannya, namun tetap diakui akal bersifat nisbi, sehingga
prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi
perubahan situasi dan kondisi.
13). Dalam
hal-hal yang termasuk al-umËr al-dunyawiyyah yang tidak termasuk
tugas para Nabi, penggunaan akal sangat demi tercapainya kemaslahatan umat.
14). Untuk
memahami nas musytarak, faham sahabat dapat diterima.
15). Dalam
memahami nas, maka Ðahir didahulukan dari ta'wil
dalam bidang aqidah. Dan
ta'wil sahabat dalam hal ini tidak harus diterima.
16). Jalan ijtihad yang
telah ditempuh meliputi:
a). IjtihÉd bayÉnÊ, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal,
baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu
mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian
lafaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti jumbuh (mutasyÉbih) ataupun adanya beberapa dalil yang [tampak]
bertentangan (ta‘ÉruÌ). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad
dengan jalan tarjih.
b). IjtihÉd QiyÉsÊ, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada
naÎnya kepada masalah baru yang belum ada
hukumnya berdasarkan nas, karena adanya kesamaan ‘illah.
c). IjtihÉd iÎtiÎlÉÍÊ, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki
nas sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nas mengenai masalah yang
ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukumnya dilakukan
berdasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
17). Dalam menggunakan
hadith, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih
sebagai berikut:
a). Hadis
mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud hadis mauquf adalah apa yang
telah disandarkan kepada sahabat, baik ucapan ataupun perbuatan dan semacamnya
baik bersambung atau tidak.
b). Hadis
mauquf yang dihukum marfu dapat menjadi hujjah. Hadis mauquf dihukum marfu'
apabila ada qarinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadis itu marfu'.
c). Hadis
mursal saÍabÊ dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan
sanad.
d). Hadis
mursal tÉbi'i semata, tidak dapat dijadikan
hujjah, kecuali jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya kepada
Nabi.
e). Hadis-hadis
ÌaÑÊf yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah,
kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan
hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Sahih.
f). Dalam
menilai perawi hadis, jarÍ didahulukan daripada ta‘dÊl setelah adanya keterangan yang mu'tabar berdasarkan alasan-alasan syar'i.
g). Periwayatan
orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, apabila ada
petunjuk bahwa hadis itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.[14]
Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa sistem istinbath
dalam Muhammadiyah ialah : (1). Langsung kepada Al Qur-an dan Sunnah Shahihah.
(2). Dengan mempergunakan qaidah ushul. (3). Menggunakan pertimbangan akal sehat. ( 4). Tidak terikat pada istinbath siapapun.[15]
B. Beberapa Langkah Pengambilan Sumber dan
Rujukan Materi Dakwah
1. Mencari Bahan Dakwah Secara Instan
Dalam mencari
bahan atau materi dakwah bisa dilakukan dengan secara instan, yakni penggalian
bahan-bahan dakwah dari materi dakwah yang telah disusun oleh mubaligh atau
ulama sebelumnya. Contoh bahan dakwah instan,[16] antara lain:
a.
Kumbulan
Khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha
b.
Kumpulan
Materi Ceramah Agama
c.
Panduan
Ceramah Ramadhan
d.
Kumpulan
Tulisan
e.
Buletin,
risalah dan brosur Dakwah
f.
Makalah-makalah
seminar
g.
Artikel di
majalah, surat kabar
h.
CD teks, maupun audio (mp3) ataupun audiovisual
Ketika seorang
mubaligh menggunakan langkah ini, diperlukan sikap kritis, dengan cara: (1)
menelusuri lebih jauh sumber dan dalil-dalil yang digunakan oleh penulisnya,
(2) menganalisis ulang atas analisis penulis bahan tersebut apakah benar-benar
tepat atau ada suatu masalah yang perlu diluruskan, (3) membandingkan dengan
tulisan atau pendapat lain yang mengangkat masalah yang sama, agar memperoleh
pandangan yang paling rajih (kuat).
2. Mencari Bahan Materi Dakwah melalui
Buku-buku Dakwah Tematik Standar
Untuk penyiapan
materi dakwah, terutama untuk forum-forum kajian intensif, seorang mubaligh
tidak lagi cukup dengan hanya mengandalkan bahan-bahan instant sebagaimana di
atas. Namun, diperlukan pengkajian terhadap buku-buku ulumuddin standar sesuai
dengan tema-tema dan spesialisasi kajian yang akan dilakukan.
a. Kajian dengan Konsentrasi Pendalaman Al-Quran dan Tafsir,
1)
Dimulai dari Tarjamah al-Quran,
2)
kitab-kitab tafsir yang disusun secara singkat, seperti Tafsir
Jalalain (Al-Suyuti dan Al-Mahalli), Tafsir Tanwirul Miqbas (Ibnu
Abbas), Tafsir Taysir Karimir Rahman (Abdurrahman al-Sa’di), Al-Tafsir
al-Muyassar (Abdul Muhsin al-Turky dkk) , Zubdat al-Tafsir (Dr.
Sulaiman Asyqar)
3)
Tafsir-tafsir dengan uraian dan analisis yang lebih luas seperti Tafsir
al-Quran al-Azhim (Ibnu Katsir), Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran (Al-Tabari),
Tafsir Al-Manar (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), Fi Zilal al-Quran
(Sayyid Qutb), Al-Munir (Wahbah Zuhaily), Tafsir al-Maraghi (Ahmad
Mustafa al-Maraghi), Tafsir al-Misbah (Quraisy Syihab) dan seterusnya.
4)
Kajian atas Asbab al-Nuzul, seperti kitab Asbab Nuzul al-Quran (al-Wahidi).
5)
Kajian Qaidah-qaidah Tafsir: seperti al-Qawaid al-Hisan al-Sa’di.
6)
Tafsir yang disusun oleh warga/pimpinan
Muhammadiyah: Al-Azhar (Hamka), Cakrawala Al-Quran (Yunahar Ilyas),
Tafsir ayat-ayat Aqidah (Saad Abdul Wahid), Tafsir ayat-ayat Ibadah (Saad Abdul
Wahid) dan sebagainya.
b. Kajian dengan Konsentrasi Pendalam
Hadits/Sunnah Rasulullah
1).
Dimulai dengan kajian atas kitab-kitab kumpulan
hadits, seperti Ahadits al-Arbain al-Nawawiyyah (Imam Nawawi), Riyadhus
Shalihin (Imam Nawawi), Bulugh al-Maram (ibnu Hajar al-Asqalani), Umdatul
Ahkam (Abdul Ghani al-Maqdisi).
2).
Kitab-kitab Hadits Standar: Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, Musnad Ahmad, Muwata’ Imam Malik, Sunan Abi Dawud, Sunan
An-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Jami’ al-Tirmidzi, Sunan al-Darimi, Mustadrak
al-Hakim dan sebagainya,
3).
Kitab-kitab Syarh Hadits: Fathul Bari Syarh
Bukhari, Syarh al-Nawawi ala Muslim, al-Muntaqa lil Muwatha, Awnul Ma’bud li
Abi Dawud, Syarh Sunan al-Nasai.
4).
Kitab-kitab Takhrij dan Penilaian Hadits: Silsilah
al-Ahadits al-Shahihah, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, dan sebagainya.
c. Kajian
dengan Konsentrasi Aqidah, Iman dan Tauhid.
1).
Kitab-kitab
Aqidah, yang disusun oleh ulama Pemurnian dan Pembaharuan, seperti Aqidah
Wasitiyah (Ibnu Taimiyah), Kitab Tauhid (Muhammad bin Abdul Wahab), Risalah
Tauhid (Muhammad Abduh), Syarh al-Ushul al-Tsalatsah (Muhammad bin Shalih
al-Uthaimin, Kitab Tauhid (Shalih bin fauzan bin Abdulla al-Fauzan), Al-Iman
(Abdul Majid al-Zindani) dan sebagainya.
2).
Kitab-kitab Keimanan yang diputuskan oleh Majelis
Tarjih dan disusun oleh pimpinan/warga Muhammadiyah, seperti Kitab Iman HPT,
Kitab Tauhid (Buya Malik Ahmad), Aqidah (Azhar Basyir), Kuliah Aqidah (Yunahar
Ilyas), dan sebagainya.
3).
Kitab-kitab Syarh Hadits: Fathul Bari Syarh
Bukhari, Syarh al-Nawawi ala Muslim, al-Muntaqa lil Muwatha, Awnul Ma’bud li
Abi Dawud, Syarh Sunan al-Nasai.
4).
Kitab-kitab Takhrij dan Penilaian Hadits: Silsilah
al-Ahadits al-Shahihah, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, dan sebagainya.
5).
Kitab-kitab Hadits yang disusun oleh
warga/pimpinan Muhammadiyah, seperti: Syarh Hadits oleh A. Dimyati, dan
sebagainya.
d. Kajian dengan Konsentrasi Ibadah-Muamalah
1) Kitab-kitab Feqih standard
seperti: Nailul Authar, Fiqhus Sunnah, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuh, Ihkam
al-Ahkam, Subulus Salam, Shahihu Fiqh al-Sunnah dan sebagainya.
2) Kitab-kitab Feqh Putusan Tarjih
dan karya anggota/pimpinan Muhammadiyah, seperti: HPT bidang ibadah, Kitab
Fekih (H. Djarnawi Hadikusuma), Shalat menurut Rasulullah (Agung Danarto), dan
sebagainya.
3) Kitab-kitab Feqh yang sejalan
dengan paham Muhammadiyah, seperti pengajaran shalat (A. Hasan), Fiqh Islam
(Sulaiman Rasyid), dan sebagainya.
4) Kitab-kitab Ushul Fiqh, Tarikh
Tasyri’ dan Qawaid Fiqhiyyah,.
e. Kajian Konsentrasi Akhlak:
1) Kitab-kitab akhlak standard: Bisyarah al-Mahbub
bi Takfir al-Dzunub, Al-Kabair, Haqq al-Jar, Quwwah al-Qulub, Riyadhus
Shalihin. dan sebagainya
2) Kitab-kitab para pemimpin, tokoh Muhammadiyah,
seperti Lembaga Budi (Hamka), Tasawuf Modern (Hamka), Akhak Pemimpin (KH. Amir
Maksum), Risalah Akhlak (Majelis Tarjih),. Kuliah Akhlak (Yunahar Ilyas), dan
sebagainya.
f. Kajian pada Tema-tema Kontemporer:
1) Kajian pada tema
Ekonomi Islam, Budaya Islam, Pendidikan Islam,
2) Kajian Kritis atas
Ghazwul Fikri dan Dakwah Pemikiran, seperti penelusuran dan kritik atas paham
sepilis dan sebagainya.
3)
Kajian
khusus untuk menangkal gerakan Kristenisasi dan Pemurtadan
g. Dan sebagainya.
Penggalian rujukan dan sumber materi
dakwah, harus dilakukan dengan steliti mungkin, dengan menelusuri dalil-dalil,
hujjah-hujjah, yang dipakai, ketepatan dalil, kualitas dalil, dan cara istidlal
dan istinbat. Penyebutan rujukan dalam pengutipan atas kitab-kitab
maraji’sangat penting dilakukan terutama untuk kajian-kajian intensif, dengan
makalah ilmiah.
C. Beberapa Piranti Teknologi untuk Menghapiri Sumber Materi Dakwah
Seiring perkembangan teknologi informasi,
kini telah ditemukan beberapa perangkat teknologi komputer yang dapat, bahkan
sangat membatu para Mubaligh untuk menggali sumber dan bahan materi dakwah
dengan cepat dan akurat. Program berupa software program komputer itu antara
lain berupa:
1. Software khusus Program Pengajaran BTA, seperti
Al-Barqy dan sebagainya.
2. Software khusus Program The Holy Quran, yang
berguna untuk mencari ayat-ayat dan terjemahnya, serta tafsirnya. Dengan
program ini, seorang mubaligh, di samping dapat mudah mencari dalil-dalil
al-Quran, sekaligus juga dapat mengkopinya dalam naskah materi dakwah, sehingga
tidak perlu mengetik sendiri ayat-ayat tersebut. Software al-Quran ini terus
menerus berkembang.
3. Sofware Quran in Word, berguna untuk menulis
ayat-ayat dengan lebih cepat dengan tarjamah dan tafsir singkat.
4. Software Program Hadits, berupa Mawsu’ah
al-Hadis al-Syarif atau dikenal Kutubus Sittah.
5. Software Maktabah Thalibil Ilmi, memuat sekitar
200 judul kitab dalam berbagaio bidang, seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Akhlak,
Aqidah, dan sebagainya.
6. Software Program Islamic Book, yang berisi
sekitar 100 judul kitab lama dan baru dalam berbagai bidang keilmuan Islam..
7. Software Program Maktabah Syamilah Versi 1
dengan 800 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu, yang selanjutnya disusul
oleh Maktabah Syamilah 2, yang berisi tidak kurang dari 2000 judul kitab.
[1] M. Djindar Tamimy, Kemuhammadiyahan, Makalah Bahan
Perkuliahan di Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran UM Surakarta, hlm. 7
[2]Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta : PPM, 1983), hlm. 270.
Istilah al-Sunnah al-Sahihah, sempat menimbulkan kontroversi, karena dengan
istilah itu mengakibatkan sebagian ulama Majelis Tarjih tidak mau menggunakan
hadis yang tidak sahih. Sehingga dalam Munas Tarjih XXIV di Malang, awal tahun
2000, dipopulerkan dan disepakati istilah tersebut diganti dengan al-Sunnah
al-Maqbulah, yang bermakna hadis-hadis maqbul (dapat diterima sebagai hujjah,
baik sahih, hasan maupun dhaif).
[4]"Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah” Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: PPM BPK, 1990)
hlm.14
[6]ibid; lihat juga A. Azhar Basyir., Pokok-pokok
Manhaj Tarjih yang telah dilakukan dalam Menetapkan Keputusan, Makalah
Seminar Nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Semarang 1997
[10] KH. Ahmad Azhar Basyir. Konsep Ulama
Muhammadiyah, Keberadaan Majelis Tarjih dan Kaderisasi Ulama. Makalah Seminar
Nasional Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Surakarta 6-8 Nopember
1985.
[12]Sjahlan Rosjidi. "Ulama Tarjih,
Pendidikan Ulama dan Pendidikan Al-Islam"., Tim UMS., Muhammadiyah di
Penghujung Abad 20. (Solo: Muhammadiyah University Press, 1989, hlm. 148
[14]Fathurrahan Djamil. Metode Ijtihad
Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Plubishing House, 1995, hlm.
161-164; Mustafa Kamal Pasha etall., Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. (Yogyakarta: LPPI UMY, 2000, hlm.. 247-249
[15]Nasikun., Studi Perbandingan Ijtihad Umar bin Khattab dan Sistem
Istinbath dalam Muhammadiyah dan NU. Penelitian tidak diterbitkan (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1987) hlm. 47
[16]Yunahar Ilyas, Metode Pengambilan Sumber Rujukan Dakwah. Presentasi pada Pelatihan Nasional
Instruktur Mubaligh Muhammadiyah, 2006
0 comments: